Sabtu, 06 Maret 2010

C © updated 13122005
► e-ti/korps marinir
Nama:Sersan Anumerta KKO Usman alias Janatin bin Haji Muhammad AliLahir:Tawangsari, Purbalingga, 18 Maret 1943Nama:Kopral Anumerta KKO Harun alias Tohir bin MandarLahir:Pulau Bawean, 4 April 1943Keduanya Wafat:Singapura, 17 Oktober 1968 (Dihukum gantung)Penghargaan:- Bintang Sakti- Pahlawan Nasional

USMAN-HARUN HOME
ENSIKONESIA (ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESI

Usman dan Harun
Pahlawan Nasional Korps Marinir
(HARUN adalah putra Bawean Desa Diponggo Kecamatan Tambak.) Ket. Iling BEKU

Inilah kisah dua patriot Indonesia dari Korps Marinir (KKO) yang dihukum gantung di Singapura, 17 Oktober 1968. Sersan Anumerta KKO Usman alias Janatin bin Haji Muhammad Ali dan Kopral Anumerta KKO Harun alias Tohir bin Mandar. Mereka pejuang dan pahlawan bangsa yang pamrih menyabung nyawa dalam tugas pengabdiannya demi kepentingan bangsa dan negara. Sebagai penghargaan, pemerintah menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Sakti dan mengangkat keduanya sebagai Pahlawan Nasional.Berikut ini, kisah kedua patriot bangsa ini, sebagaimana dikirimkan Lettu Marinir Sutrisno, e-mail:
marinir@dnet.net.id ). Dimulai dari masa kecil, saat memasuki dunia militer, pertemuan keduanya dalam operasi dwikora, saat memasuki wilayah Singapura, gagal kembali ke pangkalan, tertangkap dan proses peradilan hingga dihukum gantung.Berangkatlah wahai pahlawan-pahlawan Indonesia, kepergianmu sangat mengharukan, kami semua rela melepasmu. Kami panjatkan doa semoga engkau diterima di sisi-Nya. Jasamu tetap akan kami kenang selama-lamanya. ► e-ti
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Masa Kecil Usman alias Janatin
Pada masa penjajahan Jepang, di desa Tawangsari Kelurahan Jatisaba Kabupaten Purbalingga, lahirlah seorang bayi bernama Janatin, tepatnya pada hari Minggu Kliwon tanggal 18 Maret 1943 pukul 10.00 pagi. Janatin lahir dari keluarga Haji Muhammad Ali dengan Ibu Rukiah yang kemudian dikenal dengan nama Usman, salah seorang Pahlawan Nasional.

Masa Kecil Harun alias Tohir
Sekitar 15 kilometer sebelah utara kota Pahlawan, Surabaya, tampaklah dari kejauhan sebuah pulau kecil yang luasnya kira kira 4 kilometer persegi. Di pulau ini terdapat tempat yang dianggap keramat, karena di pulau inilah pernah dimakamkan seorang kyai yang sangat sakti dan terkenal di masa itu, yaitu Kyai Bawean. Sehingga tempat yang keramat ini terkenal dengan nama Keramat Bawean.

Pertemuan Dalam Operasi Dwikora
Baru saja TNI AL selesai melaksanakan tugas-tugas operasi dalam mengembalikan Irian Barat ke wilayah kekuasaan RI, timbul lagi masalah baru yang harus dihadapi oleh seluruh bangsa Indonesia, dengan dikomandokannya Dwikora oleh Presiden Sukarno pada tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta.

Memasuki Wilayah Singapura
Tanggal 8 Maret 1965 pada waktu tengah malam buta, saat air laut tenang ketiga Sukarelawan iini mendayung perahu, Sukarelawan itu dapat melakukan tugasnya berkat latihan-latihan dan ketabahan mereka.


Gagal Kembali ke Pangkalan
Usaha ketiga Sukarelawan kembali ke pangkalan dengan jalan masing-masing. Tetapi Usman yang bertindak sebagai pimpinan tidak mau melepas Harun berjalan sendiri, hal ini karena Usman sendiri belum faham betul dengan daerah Singapura, walaupun ia sering memasuki daerah inf. Karena itu Usman meminta kepada Harun supaya mereka bersama-sama mencari jalan keluar ke pangkalan.

Tabah Sampai Akhir
Proses pengadilan: Usman dan Harun selama kurang lebih 8 bulan telah meringkuk di dalam penjara Singapura sebagai tawanan dan mereka dengan tabah menunggu prosesnya. Pada tanggal 4 Oktober 1965 Usman dan Harun di hadapkan ke depan sidang Pengadilan Mahkamah Tinggi (High Court) Singapura dengan J. Chua sebagai Hakim. Usman dai Harun dihadapkan ke Sidang Pengadilan Tinggi (High Court) Singapura dengan tuduhan:

Menjalani Hukuman Mati
Pada saat ketiga pejabat Indonesia meninggalkan penjara Changi, Usman dan Harun kembali masuk penjara, tempat yang tertutup dari keramaian dunia. Usman dan Harun termasuk orang-orang yang teguh terhadap agama. Mereka berdua adalah pemeluk agama Islam yang saleh.

Penghormatan Terakhir dan Anugerah
Setelah mendapatkan penghormatan terakhir dari masya rakat Indonesia di KBRI, pukul 14.00 jenazah diberangkatkan ke lapangan terbang dimana telah menunggu pesawat TNI—AU. yang akan membawa ke Tanah Air.





Sabtu, 14 Februari 2009

MENUJU PENGEMBANGAN PARIWISATA PULAU BAWEAN

MENUJU PENGEMBANGAN PARIWISATA PULAU BAWEAN
Oleh: Iling, Khairil Anwar, SS.

Pembangunan sebagai upaya sadar manusia dengan tujuan mencapai kemajuan peningkatan kesejahteraan hidupnya, selalu diupayakan dari masa ke masa. Pembangunan itu sendiri pada dasarnya merupakan upaya rekayasa terhadap sumberdaya alam yang ada. Sebagai upaya rekayasa tentunya setiap langkah pembangunan dihadapkan pada dua kemungkinan yang kontras, yaitu umpan balik positif atau umpan balik negatif. Untuk itu diperlukan kearifan dari manusia dalam setiap upaya langkah pembangunan. Kesalahan dalam pengambilan keputusan setiap langkah tahapan, akan berdampak begatif dengan kerugian yang sangat besar dan berdampak luas dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Sehingga dibutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang sangat besar dalam upaya perbaikannya. Begitu pula apabila kita tepat dalam pengambilan keputusan setiap langkah dan tahapannya, keuntungan yang bisa dinikmati akan sangat besar dan dapat dinikmati dalam jangka panjang.
Pemerintah Propinsi Jawa Timur pada tahun 2006 dengan mendasarkan pada potensi keindahan alam yang dimiliki Pulau Bawean telah memprogramkan pengembangan pariwisata di pulau ini. Dalam jargon PEMPROP JATIM disebutkan, “Menjadikan Bawean sebagai Balinya Jawa Timur”. Sebuah jargon yang terdengar sangat prestisius. Rencana pengembangan Pulau Bawean sebagai daerah tujuan wisata bukanlah wacana baru bagi masyarakat Pulau Bawean. Rencana semacam tersebut telah puluhan tahun dingiangkan dan berulangkali dipidatokan pejabat yang mengunjungi pulau ini. Namun hingga kini program tersebut belum juga direalisasikan dalam perencanaan yang matang baik dalam penyediaan sarana, penyiapan obyek maupun upaya promosi.
Dalam sejarah panjang wacana pengembangan Pulau Bawean sebagai daerah wisata, pro–kontra dikalangan tokoh maupun masyarakat luas telah pula mengiringi wacana tersebut. Kalangan yang pro terhadap rencana tersebut pada umumnya didasari pemikiran upaya pengembangan sektor ekonomi masyarakat Bawean. Sedangkan mereka yang kontra lebih banyak didasari pada pemikiran ketakutan akan terjadinya dekadensi moral dan budaya masyarakat Bawean akibat adanya kontak dengan para wisatawan yang datang mengunjungi Bawean. Kalangan ini berpandangan bahwa pada saat itu masyarakat Bawean belum memiliki kesiapan untuk masuk ke-era pariwisata. Kelompok yang kontra ini banyak datang dari kalangan tokoh agama baik perorangan maupun kelembagaan. Sebuah bahan pertimbangan yang harus dan wajib serta tidak dapat dinegasikan guna menjadi dasar pemikiran oleh pengambil keputusan dalam perencanaan pengembangan Pulau Bawean sebagai daerah tujuan wisata.
Seiring dengan perkembangan yang terjadi dikalangan masyarakat Bawean khususnya, dimana tingkat pendidikan masyarakat telah jauh lebih maju dalam skala masif, penolakan dari kalangan tokoh agama tersebut mulai melunak dengan mulai diterimanya program pengembangan pariwisata. Namun tentunya sikap menerima dari kalangan masyarakat tersebut masih memerlukan kearif bijaksanaan dari pemerintah. Penggunaan slogan Pemprop JATIM yang selama ini didengung-dengungkan, “Menjadikan Bawean sebagai Bali-nya Jawa Timur”, kami rasa kurang bisa diterima oleh sebagian tokoh agama Bawean. Pernyataan tersebut oleh sebagian tokoh agama dimaknai bahwa Bawean akan menjadi “foto copy-nya” Bali yang akan menghilangkan karakter masyarakat agamis Islami yang selama ini menjadi karakter tradisi budaya Bawean. Munculnya interpretasi yang seperti tersebut tentunya akan kontra produktif dengan perencanaan pengembangan pariwisata itu sendiri. Sehingga jalan terbaik yang mesti diambil adalah membuat perencanaan dan slogan yang tidak memancing munculnya reaksi negatif dari setiap element masyarakat Bawean.
POTENSI DAN TANTANGAN
Dalam perencanaan pengembangan pariwisata di Pulau Bawean, nampaknya baru potensi alam yang dijadikan sebagai modal potensi utama. Pulau yang hanya memiliki keliling 55 Km dengan 2 kecamatan ini, selain kontur alamnya yang berbukit-bukit memiliki danau dan air terjun pada bagain tengah pulau. Sedangkan pantai yang mengelilingi pulau ini sekitar 75%-nya merupakan pantai berpasir putih dan hitam dengan pemandangan yang indah serta terumbu karang hampir terdapat diseluruh laut Bawean. Namun sebuah realitas yang getir terungkap melalui penelitian terumbu karang diseputar Bawean oleh Mahasiswa Pecinta Alam Univ. Parahyangan, yang menyimpulkan bahwa terumbu karang disekeliling pulau Bawean telah rusak akibat pengeboman ikan, penggunaan potas untuk menangkap lobster, linggis pencari teripang dan jaring trol nelayan. Dua buah titik terumbu karang yang tidak rusak hanya terletak diseputar Pulau Gili. Tidak rusaknya terumbu karang diseputar Pulau Gili, kiranya tidak terlepas dari militansinya masyarakat nelayan Pulau Gili dalam menjaga lautnya. Tindakan militansi tersebut dilakukan hingga masuk kedalam kategori melanggar hukum (membakar kapal) para pelanggar hukum yang datang ke perairan Gili.
Beragam potensi alam tersebut sejauh ini telah dimanfaatkan tanpa mengikuti perencanaan pembangunan yang berkelanjutan. Pasir pantai hampir diseluruh pantai Bawean telah ditambang sebagai bahan bangunan. Jika kita amati pantai yang 5 tahun yang lalu masih indah dengan hamparan pasirnya, kini telah kehilangan pasirnya bahkan air laut telah menggerus lapisan tanah dibibir pantai. Danau Kastoba telah mengalami penurunan debit air sedalam kurang lebih 75 cm dan air terjun koddhuk-koddhuk dan lancar dimusim kemarau berubah menjadi tetesan air akibat telah gundulnya hutan di Bawean yang dibabati tanpa memperhitungkan faktor keseimbangan ekosistem dan pipanisasi air bersih yang dialirkan kepemukiman sebagai pemenuhan kebutuhan air bersih yang tanpa perencanaan yang matang dan pengelolaan yang profesional. Beginikah pembangunan ? Atau sebuah surat undangan bagi bencana ?
Surat undangan bagi bencana yang dikirim tersebut telah mendapat balasan dengan datang melandanya banjir dan lonsor di Pulau Bawean pada bulan Februari 2008 yang telah meluluhlantakkan pemukiman, sawah, ladang, ternak dan mental dengan kerugian miliaran rupiah. Sekali lagi, Beginikah pembangunan ? Atau sebuah surat undangan bagi bencana ?
Pertanyaan lainnya, apakah potensi Bawean untuk menjadi daerah pariwisata hanya keindahan alam Bawean saja? Setahu saya pengembangan suatu daerah wisata seperti Bali, Lombok, Yogya, Jakarta dll tidak terlepas dari pengembangan potensi tradisi budaya masyarakat setempat yang saling menunjang dengan potensi keindahan alam daerah tersebut. Bahkan Malaysia demi karakter budaya yang diharapkan bisa menjadi daya tarik wisata, rela menggadaikan harga dirinya dengan mengklaim reog ponorogo sebagai seni tradisi negaranya.
Dengan optimalisasi tradisi budaya sebagai salah satu daya tarik wisata suatu daerah, tidak hanya menjadikan daerah tersebut diminati wisatawan untuk di kunjungi. Optimalisasi tradisi budaya dalam pariwisata juga dapat berperan sebagai filter bagi bagi masyarakat setempat terhadap radiasi budaya asing yang dibawa wisatawan. Dalam hal ini berlaku logika ketergantungan pada tradisi budaya lokal sebagai daya tarik wisata yang apabila ditinggalkan oleh masyarakatnya akan menurunkan daya tarik bagi wisatawan untuk datang berkunjung ke daerah tersebut. Sebagai contoh adalah Bali yang hingga kini masih memiliki daya tarik yang kuat bagi wisatawan lokal dan asing, tradisi budaya masyarakatnya yang didasari Agama Hindu tetap terpelihara. Dan bukan tidak mungkin Bali akan menurun daya tariknya apabila masyarakat Bali meninggalkan Agama Hindu yang menjadi dasar tradisi budayanya. Dengan demikian kesadaran untuk memegang teguh ajaran agama beserta tradisi budaya yang didasarkan pada ajaran agama tersebut dikalangan masyarakat semakin kuat. Kesadaran tersebut di Bali tidak hanya di sadari oleh segelintir orang saja, melainkan telah masif hingga kelevel masyarakat di strata paling bawah. Kalangan kampus, pemerintah, Parisada Hindu Bali dan komponen adat hingga tingkat desa dan dusun berada dalam satu langkah pemikiran yang terprogram dengan baik dalam upaya-upaya konkrit menjaga kelestraian tradisi budaya Hindu Bali. Dengan pola pemikiran seperti tersebut, terwujudlah Bali sebagai daerah pariwisata terbesar di Indonesia yang masyarakatnya tetap teguh beragama Hindu yang melahirkan karakter budaya Hindu Bali yang khas.
Bawean jika ingin berkembang sebagai daerah tujuan wisata, potensi keindahan alamnya harus juga didukung potensi dibidang budaya masyarakatnya yang berkarakter khas. Menurut hemat penulis, Bawean memiliki potensi dibidang budaya dengan karakter khas yang bisa dijadikan sebagai titik picu, yaitu tradisi budaya masyarakat Bawean sebagai sebuah etnik tersendiri mandiri di Indonesia diantara banyak etnik lainnya yang menjadikan ajaran Agama Islam sebagai dasar roh jiwa budayanya.

Senin, 27 Oktober 2008

MAS BAWANG

Kubur Mas Bawang secara administratif terletak di Desa Telukdalam Kecamatan Sangkapura Pulau Bawean. Kubur tokoh ini berada di tengah pekuburan umum Desa Teluk Dalam yang terletak di sisi Utara lapangan sepak bola.
Kubur tokoh ini nampak menonjol ditengah pekuburan umum dengan di berinya bangunan cungkup beratap seng yang menaungi kubur tokoh Mas Bawang dan kubur pendamping lainnya yang merupakan kerabat dari si tokoh. Cungkup kubur tersebut tidak memiliki dinding pada keempat sisinya. Di bagian luar cungkup diberi pagar batu berbahan batu kali yang tidak dibentuk dan di tata meninggi tanpa perekat. Pagar batu tersebut berdenah empat persegi panjang dengan lebar 5 M, panjang 13 M dengan tinggi 1 M.
Jirat kubur tokoh ini menjadi satu dengan empat kubur lainnya yang berada di dalam cungkup. Jirat tersebut juga menggunakan bahan batu kali yang tidak dibentuk dan di tata meninggi tanpa perekat. Areal di dalam jirat tersebut lebih tinggi di bandingkan lantai halaman di dalam kompleks pagar. Jirat tersebut berdenah persegi empat panjang dengan memiliki ukuran panjang 323 cm dan lebar 173 cm dengan tinggi dari halaman kubur 24 cm.
Nisan tokoh Mas Bawang menggunakan bahan batu andesit yang tidak mengalami pembentukan. Nisan tersebut berupa batu panjang dengan bentuk persegi empat tidak sempurna yang di tanam berdiri. Nisan ini memiliki ukuran lebar 28 cm, tebal 19 cm, tinggi dari permukaan tanah jirat 43 cm dengan jarak antar nisan 135 cm.
Yang juga menarik dari kompleks kubur Mas Bawang ini adalah ditemukannya batu-batu nisan bergaya bentuk gada maupun demakan berhias di sekitar kubur tokoh.

SEJARAH HUTAN LINDUNG BAWEAN

Oleh: Iling Khairil Anwar, SS.


Bawean sejak jaman penjajahan Belanda telah dikenal memiliki species indemik (hanya ada di pulau ini) yang langkah yaitu Rusa Bawean yang memeiliki nama latin axis kuhli. Sehingga sang penjajahpun merasa bertanggung jawab untuk ikut melestarikannya dengan memberi habitat hidup bagi satwa tersebut berupa kawasan hutan. Pemerintah Indonesia juga merasa berkepentingan untuk ikut melestarikan satwa ini dengan selain memberi habitat hitup yang dilindungi oleh undang-undang, juga menetapkan Rusa Bawean sebagai satwa dilindungi secara hukum. Namun sebagaimana lazimnya penetapan sebuah aturan perundangan di bangsa ini, selalu lemah dalam pensosialisasian secara utuh dan jelas. Masyarakat pada umumnya kurang mengerti keberadaan aturan perundangan dan cakupannya. Bahkan saat ini ada beberapa pihak dan individu yang seolah mengerti tentang aturan perundangan tersebut berbicara dalam banyak kesempatan dengan mewarnai membelokkan aturan sesuai dengan kepentingan pribadinya. Sebagai contoh bahwa kawasan hutan lindung suaka alam dan margasatwa yang ada di Bawean pepohonannya harus ditebangi hingga gundul agar menjadi tanah lapang yang ditumbuhi rumput ilalang. Alasan ini yang sering dijadikan penjarah/pencuri kayu hutan Bawean agar mereka leluasa dalam melakukan aksinya. Padahal berdasarkan hasil penelitian ahli tentang Rusa Bawean di ketahui bahwa rusa ini sangat penakut sehingga lebih menggemari bersembunyi didalam kelebatan rimbunnya hutan. Jika hutan Bawean telah habis berubah menjadi tanah lapang yang ditumbuhi ilalang, akan bersembunyi di mana sang rusa langkah endemik ini. Sementara akibat dari gundulnya hutan di Bawean, masyarakat Bawean telah merasakan dampaknya yang sangat merugikan berupa keringnya mata air di musim kemarau dan lebihnya air hujan yang menjadi banjir. Bahkan longsor dikawasan hutan lindung blok Payung-Payung telah merusak 80-an rumah, mushollah, masjid dan lumbung padi.
Walaupun saya bukan seorang ahli dalam bidang lingkungan, saya cukup prihatin dengan kondisi tersebut. Untuk itu saya akan coba untuk meringkaskan ketentuan perundangan yang mengatur tentang status hutan lindung Bawean sebagai habitat satwa rusa bawean yang berlindung pula. Saya yakin berdasarkan sejarah budaya masyarakat Bawean bahwa apabila kita melindungi rusa bawean, insyaallah kita akan terlindung dari amukan dan amarah Allah S.W.T. yang dikejewantahkan melalui alam Bawean. Bukankah kita tahu bahwa team kelenik sakti mandraguna yang dikirim penguasa orde baru “Soeharto” untuk memenuhi nafsu birahi syahwat kekuasaannya agar dapat menguasai segala-galanya demi mengarungi puncak kenikmatan duniawinya telah gagal mengambil rusa sakti selempang putih di bukit pataonan dalam pertapaannya yang datang ke Bawean dengan terbang diangkasa (tentunya pakai helikopter karena lapangan terbang Bawean hingga kini belum bisa digunakan). Rusa Bawean sakti selempang putih tak mau ikut serta ke istana negara di Jakarta walau disana dijanjikan kemanjaan kenikmatan kenyamanan layanan VVVVVIP. Rusa Bawean sakti selempang putih lebih memilih hidup sederhana di dalam sebuah goa di bukit Pataonan sebagai penjaga pencahaya Bawean. Sebuah simbol atabe idiom lokal.
Pada saat penjajahan Belanda di tahun 1932 hutan di Pulau Bawean seluas ±4556,6 ha yang terdiri dari lima lokasi yaitu Hutan Gunung Mas, Hutan Gunung Besar, Hutan Gunung Payung-Payung, Hutan Gunung Teneden, dan Hutan Alas Timur ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung yang salah satu fungsinya adalah untuk melindungi keberadaan satwa endemik Rusa Bawean (Axis Kuhlii) berdasarkan Besluit van den Directur LNH No. 6788/B Sub.Ia.1.t/m 4 tertanggal 12 Agustus 1932.
Belanda mengembangkan tanaman jati (Tectona grandis) secara bertahap dikawasan hutan lindung dengan alasan tanaman tersebut memiliki nilai ekonomi yang tinggi di banding tanaman hutan lainnya. Penanaman jati semakin meluas, terutama di kawasan Hutan Gunung Payung-Payung dan Gunung Mas kecuali di kawasan hutan primer yang lebat di areal pegunungan yang berjajar persis dibagian tengah pulau. Kawasan hutan yang awalnya bertumbuhan rimba alam, lama kelamaan berubah menjadi hutan jati. Pada tahun 1936 kawasan hutan Pulau Bawean ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi yang diserah kelolakan kepada Perhutani KPH Tuban sebagai pengelola utama.
Pada tahun 1960 banyak areal yang bertumbuhan kayu rimba alam di kawasan hutan Bawean ini dikonversi menjadi hutan tanaman jati (kecuali hutan primer). Produksi kayu jati di kawasan Bawean semakin berkembang. Penduduk Bawean pun ikut merasakan hasilnya, bahkan dibeberapa tempat sebagian dari masyarakat Bawean turut mengembangkan tanaman jati pada lahan-lahan miliknya.
Namun dilain pihak, berkembangnya hutan jati telah mengakibatkan populasi rusa Bawean semakin berkurang. Hal ini terungkap dari penelitian Raliegh dan Sumaryoto yang dilakukan selama ± 3 tahun. Berdasarkan usulan kedua peneliti tersebut dengan alasan kekhawatiran rusa Bawean lama kelamaan akan mengalami kepunahan, maka pada tahun 1979 kawasan hutan Bawean akhirnya ditetapkan sebagai kawasan hutan cagar alam seluas 725 ha dan kawasan hutan suaka margasatwa seluas 3831,6 ha.
Penempatan kawasan hutan di pulau Bawean sebagai cagar alam dengan luas 725 ha dan suaka margasatwa dengan luas 3831,6 ha melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 762/Kpts/Um/12/1979 tanggal 5 Desember 1979. Penempatan kawasan hutan ini bertujuan untuk melindungi keberadaan rusa Bawean (Axis kuhlii) agar tidak sampai punah mengingat keberadaan rusa Bawean yang merupakan satwa endemik di pulau Bawean. Rusa Bawean merupakan satwa yang dilindungi sejak tahun 1970 melalui SK Menteri Pertanian No.241/Kpts/Um/8/1970 tanggal 26 agustus 1970 serta diperkuat lagi dengan SK Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-II/1991 tanggal 10Juni 1991 dan PP No.7 tahun 1999 tentang pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Penetapan lima lokasi yaitu Hutan Gunung Mas, Hutan Gunung Besar, Hutan Gunung Payung-Payung, Hutan Gunung Teneden, dan Hutan Alas Timur sebagai kawasan hutan lindung cagar alam dan suaka margasatwa tersebut bermakna bahwa kawasan hutan tersebut tidak dibenarkan diganggu oleh manusia dalam bentuk aktifitas mengambil/eksploitasi/mencuri terhadap hasil hutan dalam bentuk apapun maupun melakukan aktivitas bercocok tanam maupun membuka lahan pemukiman didalam areal hutan lindung tersebut.
Mari kita rawat, jaga, lestarikan hutan habitan rusa bawean demi kesejahteraan hidup manusia Bawean itu sendiri atabe kita.

Senin, 29 September 2008